Back To Home

Marketing Gallery CitraGran Cibubur: Jl. Alternatif Cibubur Km4, Cibubur.

Tak banyak anak muda yang punya keberanian dan ambisi sebesar impian Edwin Witarsa Ng.  CEO sekaligus pendiri Stareast Sejahtera Group ini mau mengambil risiko dengan melakukan ekspansi bisnis properti  ke Bintan.

Kawasan yang merupakan bagian dari Kepulauan Riau ini dipandang terlalu mahal sehingga hanya bisa menjadi destinasi wisata pilihan segelintir kalangan. Hal ini ditandai dengan kehadiran merek-merek asing mewah sekaligus mahal macam Banyan Tree Resort, Bintan Club Med, Bintan Ria, dan Nirwana Bintan.

Hasilnya, Bintan kalah populer ketimbang Bali. Padahal, pulau ini tak kalah cantik alamnya, tak kalah bagus infrastrukturnya, dan tak kalah menarik kemasan dan atraksi pariwisatanya. Karena itulah, Edwin dan perusahaannya bergerak maju mematahkan stigma “mahal”, dan “eksklusif” tersebut melalui impian Edwin Witarsa dengan mengembangkan properti yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat.

“Kami berpikir, Bintan kok isinya orang asing semua ya. Mana wisatawaan domestiknya? Karena itu kami mulai berinisiatif membangun hotel, kondotel, dan ritel komersial,” tutur Edwin, dikutip Kompas.com. Dia memaparkan, Bintan merupakan salah satu destinasi pilihan warga Singapura karena lokasinya paling dekat. Selain itu, dibanding Johor-Malaysia, Bintan dianggap sebagai kawasan yang lebih aman dan nyaman.

Sayangnya, fasilitas akomodasi yang tersedia hingga saat ini hanya berkisar antara 1.500 sampai 1.700 unit kamar.  Jumlah tersebut tak cukup menampung kunjungan sebanyak 400.000 hingga 500.000 wisatawan asing per tahun.

“Bintan membutuhkan setidaknya 4.000 hingga 5.000 unit kamar hotel. Jadi ada gap banyak sekali. Kalau kamar terbatas, bagaimana mau menangkap jumlah turis lebih banyak lagi dan membuat Bintan lebih populer,” ucap Edwin.

Dengan membangun tiga proyek sekaligus dengan total nilai investasi tak kurang dari Rp 700 miliar, Edwin mengharapkan citra Bintan bisa berubah. Ketiga proyek tersebut adalah hotel dan kondotel The Grand Lagoi di bawah manajemen Swiss-belhotel International, kondotel dan serviced apartment Quincy Heritage, dan Bintan Market Place. Seluruhnya berada di kawasan Bintan Resort.

Siapa Edwin?

Pria berkacamata ini berasal dari keluarga yang menggeluti usaha komoditas, hasil bumi, dan perdagangan umum. Selepas menyelesaikan sarjana manajemen informasi di University of Southern California tahun 2002 dan Master Degree di University of Toronto tahun 2004, Edwin memulai bisnis profesionalnya sebagai distributor ban produksi Taiwan.

Untuk berkembang memaksimalkan kreativitas, dan inovasinya, dia pun mulai melakukan diversifikasi usaha di sektor bisnis lainnya.  Hal ini dia jalani, karena jika hanya fokus pada satu bidang, tidak akan membuat usahanya berkembang seperti yang diharapkan.

Karena itu, sejak 2007, Edwin menggeluti dunia properti. Sejumlah properti termasuk rumah di Medan, Sumatera Utara, dan Pekanbaru, Riau telah dikembangkan. Dalam menjalani bisnis propertinya, dia memiliki prinsip hanya membangun properti sesuai dengan kebutuhan pasar. Karena itu, sebelum merealisasikan seluruh rencananya, studi kelayakan atau feasibility study  dilakukan minimal enam bulan sebelumnya.

“Kita harus observasi dulu, rencanakan dengan matang. Bila layak secara finansial dan bisnis atau feasible serta sesuai kebutuhan pasar baru jalan. Saya risk taker, tapi penuh perhitungan juga,” papar Edwin mendeskripsikan pribadinya.

The Grand Lagoi yang dikelola Swiss-behotel International, contohnya. Hotel dan kondotel ini, sangat dibutuhkan wisatawan baik asing maupun domestik.  Kendati pada awal operasionalnya hanya membukukan catatan okupansi 35-40 persen, kini selalu di atas 60 persen. Bahkan, saat-saat high season dan peak season, catatan okupansinya bisa mencapai 100 persen.

Padahal, saat Edwin ditawari Gallant Venture Ltd, pemilik konsesi Bintan Resort, kawasan The Grand Lagoi baru berupa tanah tandus yang membentang sejauh mata memandang.

Namun, dia optimistis dengan komitmen Gallant Venture Ltd yang merupakan perusahaan kolaborasi Salim Group dan Sembawang Corp, kawasan Bintan Resort bakal berkembang. Terlebih didukung rencana pembangunan bandara internasional baru.

Kendati demikian, Stareast juga harus mampu menciptakan konsep properti yang tidak sekadar berbeda, melainkan bisa mendatangkan jumlah kunjungan wisatawan dari berbagai kalangan.
Karena itu, Edwin mulai merintis divisi usaha entertainment, dan transportasi. Nantinya, divisi usaha ini akan bekerja mempromosikan Pulau Bintan, lengkap dengan atraksi pariwisatanya, dan hiburan-hiburannya. Seperti itulah salah satu cara untuk mewujudkan impian Edwin Witarsa.

“10 Desember 2016 ini kami akan mendatangkan Noah Band untuk beraksi di Bintan Lagoi,” cetusnya.

Bermimpi, Implementasi, dan Berbagi

Di usianya yang belum lagi 40 tahun, Edwin dan Stareast telah memiliki aset senilai lebih dari setengah triliun rupiah (sebelum valuasi).

Bagi Edwin, pencapaian tersebut merupakan hasil dari tiga kunci bermimpi, implementasi, dan berbagi yang dianut tidak hanya oleh dirinya juga seluruh karyawannya.

“Saya percaya mereka (karyawan) semua punya mimpi, itu harus diwujudkan. Mereka punya skill , dan saya selalu membangun kepercayaan dan mendelegasikan pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Itu kuncinya,” cetus Edwin.

Sebagaimana Soedono Salim, Bill Gates, dan Richard Branson yang diidolainya, dia tak hanya ingin membesarkan nama Stareast, melainkan juga membangun “monumen kehidupan” berupa Stareast Foundation.

Stareast Foundation ini semacam institusi untuk program-program berbagi atau give back kepada masyarakat yang merasakan manfaat dari pengembangan-pengembangan yang telah dilakukan selama ini.

Walaupun terbilang cukup sukses, masih banyak impian Edwin Witarsa berikutnya yang masih ingin digapai.